Kamis, 13 September 2012
LSM dan WARTAWAN BODREX ?
Instansi,
lembaga atau perusahaan biasanya menjadi salah satu obyek bagi pers
untuk mencari informasi dan sumber berita. Informasi yang diperoleh
dari hasil kerja reportase wartawan diharapkan dapat berguna bagi
masyarakat yang membutuhkan informasi tersebut. Sebagai sebuah profesi
luhur, kerja jurnalistik seorang wartawan tentu saja dilengkapi dengan
identitas diri yang menunjukkan profesinya, termasuk surat kabar atau media yang menjadi bagian dari keberadaan wartawan tersebut ditengah-tengah masyarakat.
Disamping
atribut identitas tersebut, wartawan yang memiliki tugas meliput
aktivitas atau kegiatan di institusi lain, khususnya institusi publik,
biasanya akan dilengkapi oleh TOR (term of reference) sebagai pedoman bagi wartawan untuk fokus pada tugas-tugas jurnalistik yang di berikan pimpinan redaksi kepadanya.
Disamping
itu pula, wartawan yang diberikan tugas oleh pimpinan redaksinya
meliput atau melakukan kegiatan reportase di institusi atau lembaga
publik, biasanya lazim dan beretika untuk melakukan konfirmasi terlebih
dahulu kepada pihak instansi/ lembaga tersebut atau kepada nara sumber
yang relevan untuk dijadikan narasumber, baik sebagai key informan maupun informan.
Tanpa konfirmasi, pihak instansi maupun lembaga yang hendak diminati
keterangan oleh wartawan berhak menolak kehadiran wartawan tersebut.
Standard
etika kerja jurnalistik itulah yang harus dipahami oleh instansi/
lembaga untuk menghadapi wartawan. Terutama wartawan yang kerap
memaksakan kehendaknya untuk mencari informasi. Apalagi jika terbukti
bahwa wartawan tersebut tidak mampu menunjukkan identitas pers yang
melekat dalam dirinya. Termasuk pula tidak mampu menunjukkan maksud
tugas-tugas jurnalistik yang diberikan kepadanya oleh pimpinan
redaksinya.
Wartawan
yang demikian itu bisa disebut sebagai wartawan “bodrex”. Yakni
wartawan yang hanya bertugas memeras instansi atau lembaga dengan cara
menakut-nakuti pihak instansi atau lembaga tersebut dengan mencari-cari
informasi, seolah-olah lembaga atau instansi tersebut melakukan
kesalahan yang merugikan kepentingan publik.
Wartawan
tanpa media atau sering disebut wartawan “Bodrex” itulah yang kerap
menimbulkan menimbulkan keresahan karena tindakannya memeras tadi.
Tindakan
tidak terpuji yang mengatasnamakan profesi wartawan itu telah memberi
kesan buruk bagi profesi “pencari berita” dan karena itu pelakunya
dapat diancam dengan hukuman pidana.
“Wartawan `bodrex` itu dapat ditangkap dengan menggunakan pasal 228 KUHP, karena mereka bekerja tanpa kapasitas.
Pasal 228 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) selengkapnya berbunyi “Barang
siapa dengan sengaja memakai tanda kepangkatan atau melakukan
perbuatan yang termasuk jabatan yang tidak dijabatnya atau yang ia
sementara dihentikan daripadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Pasal
itu sudah cukup untuk dapat menangkap para wartawan yang memang tidak
berniat untuk melaksanakan kerja jurnalistik namun menggunakan kartu
persnya untuk melakukan kejahatan, biasanya pemerasan.
Masyarakat, instansi atau lembaga yang disambangi wartawan seperti ini
sangat di diukung oleh Dewan Pers untuk menangkap dan melaporkannya
kepada pihak berwajib apabila mendapati wartawan tersebut, tanpa di
lengkapi dengan ijin liputan dari institusi media massa nya apalagi
jelas tidak dilengkapi dengan identitas kartu pers dan berusaha
memaksakan kehendaknya kepada lembaga atau instansi yang disambanginya.
Bagi lembaga/ instansi haruslah semakin memahami pola wartawan jenis ini. Jangan takut dan alergi dengan gaya dan pressure
wartawan bodrex tersebut. Pada prinsipnya cukup sederhana saja
menghadapi wartawan bodrex itu. Gunakan saja mekanisme dan prosedur atau
SOP penanganan tamu yang selama ini diterapkan oleh instansi atau
lembaga yang bersangkutan. Berlakukanlah mekanisme dan prosedur tersebut
tanpa terkecuali. Termasuk kepada wartawan, apalagi wartawan bodrex
yang jelas-jelas keberadaannya menganggu suasana dan iklim di lingkungan
instansi/ lembaga.
Wartawan
yang benar akan dengan baik menerima prosedur tersebut dan akan
mengikuti mekanisme prosedur yang diterapkan oleh lembaga atau instansi
tempat mereka mencari sumber informasi. Apabila wartawan tersebut
tidak menerima atau bersikap resisten terhadap mekanisme dan prosedur
penanganan tamu yang dimiliki oleh instansi atau lembaga, sepanjang
mekanisme dan prosedur tersebut dilakukan dengan benar, maka pihak
instansi maupun lembaga harus berkeyakinan bahwa wartawan tersebut
tidak memiliki itikad baik dan hanya menjadi sumber masalah. Oleh
karenanya berhak diusir dari lingkungan instansi atau lembaga. Jika
mereka juga berkeras menolak di usir secara baik-baik, maka pihak
lembaga atau instansi berhak mengusirnya. Yakinlah bahwa tindakan itu
sudah benar dalam menangani wartawan bodrex yang jelas-jelas bukan saja
merugikan suatu lembaga/ instansi tapi juga mencoreng nama baik pers
Indonesia.
Maraknya
oknum-oknum yang mengaku dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun
wartawan, kini sering kali meresahkan warga. Dengan bermodalkan
Kartu Tanda Anggota (KTA) yang mereka kantongi, sering menggertak
korbannya yang bermasalah, dengan ancaman akan dilaporkan ke
Kepolisian. Atau juga akan mempublikasikan perbuatan korbannya itu lewat
media cetak.
Akhirnya si korban yang diintimidasi dan ditakut-takuti itu memilih melakukan negosiasi dan memberikan sejumlah uang. Para oknum LSM dan wartawan ‘bodrex’ itu tak segan-segan memintai uang dari mangsanya. Wartawan tanpa media atau sering disebut wartawan "Bodrex" seringkali menimbulkan keresahan karena tindakannya memeras pihak-pihak tertentu.
Akhirnya si korban yang diintimidasi dan ditakut-takuti itu memilih melakukan negosiasi dan memberikan sejumlah uang. Para oknum LSM dan wartawan ‘bodrex’ itu tak segan-segan memintai uang dari mangsanya. Wartawan tanpa media atau sering disebut wartawan "Bodrex" seringkali menimbulkan keresahan karena tindakannya memeras pihak-pihak tertentu.
Tindakan
tidak terpuji yang mengatasnamakan profesi wartawan itu telah memberi
kesan buruk bagi profesi "pencari berita" dan karena itu pelakunya
dapat diancam dengan hukuman pidana.
"Wartawan
`bodrex` itu dapat ditangkap dengan menggunakan pasal 228 KUHP, karena
mereka bekerja tanpa kapasitas," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Rudi Satrio.
Pasal
itu, disebut Rudi sudah cukup untuk dapat menangkap para wartawan yang
memang tidak berniat untuk melaksanakan kerja jurnalistik namun
menggunakan kartu persnya untuk melakukan kejahatan, biasanya pemerasan.
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara juga menyetujui upaya penertiban wartawan gadungan tersebut.
"Tangkap saja wartawan `Bodrex` itu," kata Leo.
Sumber : Kompasiana
0 komentar: