L-Kompleks On Line

"KOBAN PENGANIAYAAN DITAHAN DENGAN TUDUHAN PENGANCAMAN". HANYA DIPOLSEK MARISO KOTA MAKASSAR



 Korban (Syamsuddin Dg. Ngawing Alias Jembek)
Makassar, lsmkompleksonline
Dengan adanya Undang Undang Kepolisian No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka tiap anggota Kepolisian harus membekali diri baik keterampilan ataupun pengetahuan sesuai dengan tugas yang diembannya, dalam hal ini penyidik mempunyai peran yang sangat penting dalam mengidentifikasi seseorang, baik seseorang itu sebagai penjahat ataupun korban untuk menemukan identitas diri seseorang tersebut.

Peranan polisi dalam penegakan hukum dapat ditemukan didalam perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban polisi yaitu Undang Undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas-tugas Polisi prefentif bersifat mencegah, mengatur atau melakukan tindakan-tindakan yang berupa usaha, kegiatan demi terciptanya keamanan, ketertiban, kedamaian dan ketenangan didalam masyarakat. Usaha-usaha yang dilakuakan Polisi itu berupa kegiatan patroli, penyuluhan, pantauan dan pertolongan pada masyarakat dimana bila dikaitkan dengan undang-undang disebut dengan pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat. Tugas-tugas prefentif ini lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat umum. Tugas polisi represif lebih berorientasi pada penegakan hukum pidana yang bersifat menindak terhadap para pelanggar hukum untuk selanjutnya diproses dalam sistem peradilan pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku baik dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Namun apa Lacur bila Penyidik dan atasan Penyidik (Kapolsek) dari Polsek Mariso Kota Makassar melakukan tindakan penahanan terhadap pelapor dan terlapor dengan dalih bahwa sang terlapor juga melaporkan orang yang melaporkannya dengan tuduhan yang berbeda.
Kronologi kejadian berdasarkan keterangan keluarga korban penganiayaan berat yang mengakibatkan korban penganiayaan itu mengalami cacat permanen (gigi tanggal 2 (dua) buah), bahwa korban (Syamsuddin Dg. Ngawing Alias Jembek) yang juga cacat fisik (bongkok) pada awalnya menegur pelaku ( Dg. Balang) yang berpostur tinggi besar, tetangga korban untuk tidak mempergunakan bale-bale (Mirip Pos Ronda) yang ada dilorong rajawali I untuk ditempati sebagai tempat minum Tuak (Ballo), selanjutnya karena tidak diindahkan oleh pelaku maka korban berinisiatif untuk membongkar bale-bale itu, dengan berbekal parang, sang korban mulai membongkar bale-bale tersebut, tak lama berselang datang Dg. Balang langsung menganiaya sikorban hingga tidak sadarkan diri.
Tetangga korban yang melihat kejadian itu segera memberitahu keluarga korban, bahwa jembek (Korban) telah pingsan akibat dianiaya oleh pelaku, selanjutnya keluarga korban segera membawa korban ke rumah sakit untuk mendapat perawatan lalu orang tua korban segera melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Mariso, tak lama berselang pelaku ditahan dan dibawa kekantor polisi oleh pihak kepolisian, namun setelah dikantor Polsek Mariso Pelaku malah melaporkan balik korban dengan tuduhan Pengancaman.
Kapolsek Mariso (Kompol Syahrul) yang dikonfirmasi beberapa waktu lalu membenarkan bahwa laporan Jembek diterima dan laporan Dg. Balang juga diterima dan agar kedua kasus ini tidak berlanjut dikarenakan kedua orang tersebut masih bertetangga, maka Kapolsek memberi saran kepada keluarga korban agar melakukan perdamaian dengan tersangka, namun bebera hari kemudian petugas dari Polsek Mariso datang menggerebek Korban dirumahnya tanggal 26 September 2014 sekitar jam 10 malam tanpa memperlihatkan surat perintah Penangkapan baik kepada tersangka Jembek maupun keluarganya, setelah ibu korban datang kekantor Polisi baru Surat Perintah penangkapan (Nomor:SP.Kap/ 119 / IX / 2014 /Reskrim tertanggal 26 September 2014) dan Surat Perintah Penahanan (Nomor: SP.Han/86/IX/2014/Reskrim) diberikan kepada ibu Korban, itupun hanya dari korban sendiri.
Penyidik (Briptu Sulaiman, S.Sos) yang dikonfirmasi mengatakan bahwa mendakwa Jembek dengan dakwaan tindak Pidana Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dengan memakai ancaman kekerasan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan pasal 335 Ayat (1) KE-1 KUHPidana dengan barang bukti sebilah parang (yang dipergunakan korban untuk membongkar bale-bale) dan membenarkan bahwa orang tua korban yang pertama melaporkan kejadian penganiayaan yang dilakukan oleh Dg. Balang, namun Dg. Balang pada saat ditahan juga melakukan pelaporan atas pengancaman yang dilakukan oleh korban sebelum pelaku menganiaya korban.(rr)
AKANKAH KEADILAN DAPAT DITEGAKKAN DINEGERI INI BILA YANG MENDAPAT ANCAMAN MELAKUKAN PENGANIAYAAN LANTAS MELAPORKAN KORBAN PENGANIAYAAN SETELAH TERJADINYA PENGANIAYAAN ?.


0 komentar:



0 komentar:

Kamis, 13 September 2012

LSM dan WARTAWAN BODREX ?

Instansi, lembaga atau perusahaan biasanya menjadi salah satu obyek bagi pers untuk mencari informasi dan sumber berita. Informasi yang diperoleh dari hasil kerja reportase wartawan diharapkan dapat berguna bagi masyarakat yang membutuhkan informasi tersebut. Sebagai sebuah profesi luhur, kerja jurnalistik seorang wartawan tentu saja dilengkapi dengan identitas diri yang menunjukkan profesinya, termasuk surat kabar atau media yang menjadi bagian dari keberadaan wartawan tersebut ditengah-tengah masyarakat.
Disamping atribut identitas tersebut, wartawan yang memiliki tugas meliput aktivitas atau kegiatan di institusi lain, khususnya institusi publik, biasanya akan dilengkapi oleh TOR (term of reference) sebagai pedoman bagi wartawan untuk fokus pada tugas-tugas jurnalistik yang di berikan pimpinan redaksi kepadanya.
Disamping itu pula, wartawan yang diberikan tugas oleh pimpinan redaksinya meliput atau melakukan kegiatan reportase di institusi atau lembaga publik, biasanya lazim dan beretika untuk melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak instansi/ lembaga tersebut atau kepada nara sumber yang relevan untuk dijadikan narasumber, baik sebagai key informan maupun informan. Tanpa konfirmasi, pihak instansi maupun lembaga yang hendak diminati keterangan oleh wartawan berhak menolak kehadiran wartawan tersebut.
Standard etika kerja jurnalistik itulah yang harus dipahami oleh instansi/ lembaga untuk menghadapi wartawan. Terutama wartawan yang kerap memaksakan kehendaknya untuk mencari informasi. Apalagi jika terbukti bahwa wartawan tersebut tidak mampu menunjukkan identitas pers yang melekat dalam dirinya. Termasuk pula tidak mampu menunjukkan maksud tugas-tugas jurnalistik yang diberikan kepadanya oleh pimpinan redaksinya.
Wartawan yang demikian itu bisa disebut sebagai wartawan “bodrex”. Yakni wartawan yang hanya bertugas memeras instansi atau lembaga dengan cara menakut-nakuti pihak instansi atau lembaga tersebut dengan mencari-cari informasi, seolah-olah lembaga atau instansi tersebut melakukan kesalahan yang merugikan kepentingan publik.
Wartawan tanpa media atau sering disebut wartawan “Bodrex” itulah yang kerap menimbulkan menimbulkan keresahan karena tindakannya memeras tadi.
Tindakan tidak terpuji yang mengatasnamakan profesi wartawan itu telah memberi kesan buruk bagi profesi “pencari berita” dan karena itu pelakunya dapat diancam dengan hukuman pidana.
“Wartawan `bodrex` itu dapat ditangkap dengan menggunakan pasal 228 KUHP, karena mereka bekerja tanpa kapasitas.
Pasal 228 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) selengkapnya berbunyi “Barang siapa dengan sengaja memakai tanda kepangkatan atau melakukan perbuatan yang termasuk jabatan yang tidak dijabatnya atau yang ia sementara dihentikan daripadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Pasal itu sudah cukup untuk dapat menangkap para wartawan yang memang tidak berniat untuk melaksanakan kerja jurnalistik namun menggunakan kartu persnya untuk melakukan kejahatan, biasanya pemerasan.
Masyarakat, instansi atau lembaga yang disambangi wartawan seperti ini sangat di diukung oleh Dewan Pers untuk menangkap dan melaporkannya kepada pihak berwajib apabila mendapati wartawan tersebut, tanpa di lengkapi dengan ijin liputan dari institusi media massa nya apalagi jelas tidak dilengkapi dengan identitas kartu pers dan berusaha memaksakan kehendaknya kepada lembaga atau instansi yang disambanginya.
Bagi lembaga/ instansi haruslah semakin memahami pola wartawan jenis ini. Jangan takut dan alergi dengan gaya dan pressure wartawan bodrex tersebut. Pada prinsipnya cukup sederhana saja menghadapi wartawan bodrex itu. Gunakan saja mekanisme dan prosedur atau SOP penanganan tamu yang selama ini diterapkan oleh instansi atau lembaga yang bersangkutan. Berlakukanlah mekanisme dan prosedur tersebut tanpa terkecuali. Termasuk kepada wartawan, apalagi wartawan bodrex yang jelas-jelas keberadaannya menganggu suasana dan iklim di lingkungan instansi/ lembaga.
Wartawan yang benar akan dengan baik menerima prosedur tersebut dan akan mengikuti mekanisme prosedur yang diterapkan oleh lembaga atau instansi tempat mereka mencari sumber informasi.  Apabila wartawan tersebut tidak menerima atau bersikap resisten terhadap mekanisme dan prosedur penanganan tamu yang dimiliki oleh instansi atau lembaga, sepanjang mekanisme dan prosedur tersebut dilakukan dengan benar, maka pihak instansi maupun lembaga harus berkeyakinan bahwa wartawan tersebut tidak memiliki itikad baik dan hanya menjadi sumber masalah. Oleh karenanya berhak diusir dari lingkungan instansi atau lembaga. Jika mereka juga berkeras menolak di usir secara baik-baik, maka pihak lembaga atau instansi berhak mengusirnya. Yakinlah bahwa tindakan itu sudah benar dalam menangani wartawan bodrex yang jelas-jelas bukan saja merugikan suatu lembaga/ instansi tapi juga mencoreng nama baik pers Indonesia.
Maraknya oknum-oknum yang mengaku dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun wartawan, kini sering kali meresahkan warga. Dengan bermodalkan Kartu Tanda Anggota (KTA) yang mereka kantongi, sering menggertak korbannya yang bermasalah, dengan ancaman akan dilaporkan ke Kepolisian. Atau juga akan mempublikasikan perbuatan korbannya itu lewat media cetak.
Akhirnya si korban yang diintimidasi dan ditakut-takuti itu memilih melakukan negosiasi dan memberikan sejumlah uang. Para oknum LSM dan wartawan ‘bodrex’ itu tak segan-segan memintai uang dari mangsanya.
Wartawan tanpa media atau sering disebut wartawan "Bodrex" seringkali menimbulkan keresahan karena tindakannya memeras pihak-pihak tertentu.
Tindakan tidak terpuji yang mengatasnamakan profesi wartawan itu telah memberi kesan buruk bagi profesi "pencari berita" dan karena itu pelakunya dapat diancam dengan hukuman pidana.
"Wartawan `bodrex` itu dapat ditangkap dengan menggunakan pasal 228 KUHP, karena mereka bekerja tanpa kapasitas," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudi Satrio.
Pasal itu, disebut Rudi sudah cukup untuk dapat menangkap para wartawan yang memang tidak berniat untuk melaksanakan kerja jurnalistik namun menggunakan kartu persnya untuk melakukan kejahatan, biasanya pemerasan.
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara juga menyetujui upaya penertiban wartawan gadungan tersebut.
"Tangkap saja wartawan `Bodrex` itu," kata Leo.


Sumber : Kompasiana
http://kioshukumonline.blogspot.com/2012/09/lsm-dan-wartawan-bodrex.html

0 komentar: